BACA JUGA:Alhamdulillah!!, Ustad dan Ustadzah Disiapkan Uang Rp2,1 Miliar
Hal ini sebagaimana yang tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
Argumen Imam Syafi'i tentang kebolehan perkawinan tersebut adalah karena wanita tersebut, bukan termasuk golongan wanita yang haram untuk dinikahi.
Bayi yang lahir sebagai akibat hubungan di luar nikah, nasab atau keturunannya kembali kepadanya.
Namun, pendapat ini cukup berbeda dengan Imam Hanafi. Imam Hanafi hanya membolehkan menggauli jika yang menikahinya laki-laki melakukan zina dengannya.
BACA JUGA:Safari Ramadhan ke Singapura || Ustadz Dodi: Alhamdulillah!!, Tidak ada Santri yang Dideportasi
Sedangkan Imam Syafi'i membolehkan menggaulinya baik oleh laki-laki yang menghamilinya atau bukan.
Sementara itu, menurut Imam Maliki dan Hambali tidak membolehkan menikahi wanita hamil di luar nikah baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan yang menghamilinya.
Selain itu, Imam Hanafi dan Syafi'i berpendapat bahwa mentalak wanita hamil hukumnya jaiz (boleh).
Adapun menurut Imam Maliki mentalak wanita hamil hukumnya haram, sebab mereka mengkiyaskan talak di dalamnya kepada talak pada masa haid di luar kehamilan.
BACA JUGA:Jadwal Ustadz Abdul Somad ke Sumsel April 2023 ini, Akan Resmikan Masjid Bersama Pj Bupati di Lais
Pendapat Imam Hanafi dan Syafi’I bahwa tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina.
Sedangkan Imam Maliki dan Hambali, yaitu mewajibkan adanya iddah bagi wanita hamil di luar nikah.
Sebenarnya, semua pendapat yang menghalalkan wanita hamil di luar nikah dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, karena beberapa nash.
Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, kemudian beliau berkata:
“Awalnya kotor dan akhirnya perbuatan nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.” (HR Thabrani dan Daruquthni).