Tidak lama kemudian, Puteri Syahrul Bariyah melahirkan seorang anak yang diberi nama Aristun Syah Waladul-Malikul-Mukarram.
BACA JUGA:Kisah Garuda Sang Raja Burung dalam Mitologi dan Lambang Kebangsaan Indonesia
BACA JUGA:Pertempuran Alamo: Kisah Keberanian dan Pengorbanan
Baginda adalah nenek moyang Raja Suran yang suatu hari nanti akan menyerang Negeri-Negeri Melayu.
Raja Suran memiliki tiga anak yang diasuh oleh Raja Aktabul Ard, yaitu Nila Pahlawan, Krisna Pandita, dan Nila Utama.
Suatu hari, mereka bertiga meminta izin kepada Raja Aktabul Ard untuk "turun" ke dunia.
Walaupun berat hati, baginda mengabulkan permintaan ketiga-tiga anak Raja Suran itu dan memberikan seekor lembu putih sebagai kendaraan.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Willem II atau Benteng Pendem Cilacap: Ditemukan dalam Kondisi Tertimbun Tanah
BACA JUGA:8 Kota Tertua di Ukraina yang Memukau Hingga Kini
Ketiga putera itu turun ke Bukit Siguntang pada malam hari.
Keesokan harinya, dua orang petani, Wan Malini dan Wan Empuk, pergi ke sawah mereka dan terkejut melihat biji padi yang mereka tanam telah berubah menjadi emas, sementara daun padinya menjadi perak, dan batangnya berubah menjadi suasa.
Tanah di Bukit Siguntang pun berubah menjadi kuning seperti emas.
Ketiga putera raja ini kemudian diangkat menjadi raja. Krisna Pandita menjadi raja di Tanjung Pura, Nila Pahlawan menjadi raja di Minangkabau, dan Nila Utama berkerajaan di Palembang.
BACA JUGA:Kolonisasi Arab di Pulau Madagaskar: Hubungan yang Terlupakan antara Dunia Arab dan Afrika Timur
BACA JUGA:Kolonisasi Viking: Eksplorasi dan Pemukiman Viking di Amerika Utara yang Terlupakan
Tidak lama kemudian, Nila Utama atau Seri Tri Buana menjadi raja di Bintan, lalu pergi ke Temasek untuk mendirikan Kerajaan Singapura Tua.