Pada awal tahun 1960, Presiden Soekarno memerintahkan pembongkaran jalur trem yang membentang sepanjang 40 km di Ibu Kota.
Soekarno berpendapat bahwa trem sebagai moda angkutan massa tidak cocok untuk Jakarta, dan lebih memilih pengembangan jaringan kereta bawah tanah.
BACA JUGA:Invasi Majapahit ke Singapura: Perang Panjang Melawan Kekaisaran Mongol dan Penguasaan Temasik
BACA JUGA:Kisah Wanita Hebat dari Kerajaan Gegelang hingga Runtuhnya Kediri
Keputusan ini mengakhiri era trem di Jakarta, dan sejak itu, trem hanya menjadi bagian dari sejarah transportasi kota ini.
Seiring dengan keberadaan trem, nama-nama jalan di Batavia juga sarat dengan sejarah.
Salah satu contohnya adalah Kwitang, sebuah daerah di Jakarta Pusat yang namanya diambil dari seorang Tionghoa bernama Kwik Tamg Kiam.
Di daerah ini terdapat Gang Adjudant, yang kini dikenal sebagai Kramat Kwitang II, tempat berdirinya Majelis Taklim Kwitang.
Nama Adjudant sendiri merujuk pada jabatan struktural dalam pemerintahan kolonial di Batavia, dan di jalan ini dahulu tinggal seorang ajudan.
BACA JUGA:Inclinator Bukit Sulap Beroperasi Kembali!
BACA JUGA:Kisah Jayakatwang: Raja Kediri yang Mengakhiri Kerajaan Singasari
Meski kini trem di Jakarta tinggal sejarah, fakta bahwa Batavia pernah memiliki trem listrik yang lebih dulu beroperasi dibandingkan Belanda menjadi catatan penting dalam sejarah transportasi di Indonesia.
Keberadaan trem listrik ini menjadi bukti bahwa Batavia pernah menjadi kota yang maju dalam hal transportasi publik, meski berada di bawah kekuasaan kolonial.