BACA JUGA:Dika dan Kabut Ajaib: Menemukan Cinta di Kerajaan Bunian dalam Petualangan Penuh Keberanian
Suatu hari, Lancang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya dengan istri-istrinya.
Penduduk kampung yang mengenalnya datang melihat kapalnya.
Lancang menceritakan kedatangannya pada emaknya yang sakit.
Emak Lancang sangat senang mendengarnya dan ingin bertemu.
BACA JUGA:Pendaki Berani Dika: Petualangan Melawan Kabut dan Mencari Cinta di Bunian
Namun, saat emak Lancang hendak naik kapal, anak buah Lancang menghalanginya.
Lancang bahkan tidak mengakui emaknya di depan istri-istrinya. Emak Lancang pergi dengan hati hancur.
Emak Lancang pulang dan berdoa dengan hati yang hancur. Tiba-tiba, badai menghancurkan kapal Lancang beserta Lancang dan anak buahnya.
Barang-barang dari kapal tersebar dan membentuk tempat-tempat di sekitar sungai Kampar.
BACA JUGA:Misteri Kabut dan Cinta di Kerajaan Bunian: Kisah Tak Tergoyahkan Pendaki Dika
Sejak itu, masyarakat meyakini bahwa munculnya tiang kapal Lancang di danau merupakan pertanda akan terjadi banjir.
Banjir dianggap sebagai air mata Lancang yang menyesali perbuatannya.
Kisah ini mengajarkan tentang kesetiaan dan rasa hormat kepada orang tua. (*)