Anak itu, merasa tersinggung, secara tiba-tiba menusukkan pisau kecil ke jantung Sultan Trenggana, yang menyebabkan kematiannya seketika.
Kematian Sultan Trenggana menjadi awal dari kekacauan di Kesultanan Demak.
Pangeran Mohammad Arifin, yang pada saat itu menjabat sebagai Depati Cirebon, turut menjadi korban dalam peristiwa perebutan kekuasaan yang terjadi pasca kematian Sultan.
Pangeran Mohammad Arifin, putra mahkota Kesultanan Cirebon yang sedang berada di Demak untuk mewakili Sultan Cirebon, meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut.
BACA JUGA:Waspada! Kebiasaan Keuangan Zodiak Berikut Bisa Bikin Boncos
BACA JUGA:Haru! Berikut Game yang Lebih dari Sekadar Permainan
Pangeran Mohammad Arifin dikenal juga dengan nama Kyai Sang Depati Cirebon oleh Fernão Mendes Pinto.
Istrinya, Ratu Nyawa, berhasil selamat dari insiden itu.
Setahun setelah kematian Pangeran Mohammad Arifin, Ratu Wanawati melahirkan Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1547 M.
Kematian Pangeran Mohammad Arifin menambah panjang daftar korban huru-hara di Demak, termasuk Pangeran Hadiri, suami dari Ratu Kalinyamat, putri pertama Sultan Trenggana yang juga menjadi Adipati Jepara.
Peristiwa tragis ini tidak hanya mengguncang Kesultanan Demak dan Cirebon, tetapi juga memperlihatkan ketidakstabilan politik pada masa itu.
Kematian Sultan Trenggana dan Pangeran Mohammad Arifin menjadi pengingat akan dinamika kekuasaan dan pertikaian internal di antara para pemimpin Jawa pada abad ke-16.
BACA JUGA:Aston Villa Memimpin Perburuan Raheem Sterling di Bursa Transfer
BACA JUGA:Stadion Terbesar di Dunia Akan Dibangun di Casablanca untuk Piala Dunia 2030
Kesultanan Demak, sebagai kekuatan Islam terbesar di Jawa saat itu, harus menghadapi masa-masa sulit pasca kematian sultannya.
Sementara itu, Kesultanan Cirebon, yang juga kehilangan putra mahkotanya, harus melakukan restrukturisasi kepemimpinan dan beradaptasi dengan situasi politik yang berubah.