Trauma psikologis yang dialami oleh para penyintas, atau hibakusha, terus membayangi mereka sepanjang hidup.
BACA JUGA:Larangan Warga Cepu Blora dan Bojonegoro Mendaki Gunung Lawu: Mitos dan Sejarah
BACA JUGA:Asri Welas, Artis Multitalenta yang Ternyata Keturunan Pangeran Diponegoro
Pemboman Hiroshima dan Nagasaki secara efektif mengakhiri Perang Dunia II, dengan Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945.
Namun, dampak dari serangan ini jauh melampaui penutupan konflik global tersebut.
Pemboman ini menandai awal dari perlombaan senjata nuklir selama Perang Dingin.
Setelah melihat kekuatan destruktif yang dimiliki oleh bom atom, negara-negara lain, terutama Uni Soviet, mulai mengembangkan senjata nuklir mereka sendiri, yang kemudian memicu ketegangan global selama beberapa dekade.
BACA JUGA:Harga Tiket dan Jam Buka Benteng Pendem Cilacap
BACA JUGA:Menton, Permata Riviera yang Memikat di Perbatasan Prancis-Italia
Tragedi ini juga memicu munculnya gerakan anti-nuklir yang kuat di seluruh dunia.
Banyak yang mulai mempertanyakan etika penggunaan senjata dengan daya hancur yang begitu besar dan mendesak diadopsinya perjanjian internasional untuk mencegah penggunaan senjata nuklir di masa depan.
Dunia internasional mulai menyadari bahwa senjata nuklir merupakan ancaman yang sangat serius terhadap umat manusia.
Ini mengarah pada perjanjian internasional seperti Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan berbagai perjanjian kontrol senjata lainnya yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan mengurangi stok yang ada.
Tragedi ini juga mendorong pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan usaha untuk menciptakan sistem keamanan kolektif yang dapat mencegah terjadinya perang di masa depan.
BACA JUGA:Tragedi Ini Mengubah Dunia, Berikut Sejarah Bencana Chernobyl dan Reformasi Energi Nuklir
BACA JUGA:Kisah Pilu yang Mengubah Dunia! Pembantaian Nanking dan Dampaknya pada Hukum Perang Internasional