Sementara itu, pasukan polisi Belanda mengumpulkan informasi tentang situasi desa dan masyarakatnya.
Ketika serangan akhirnya terjadi, pasukan Belanda yang dipandu oleh salah seorang warga, yang sebenarnya merupakan anggota kelompok perlawanan, tiba di tepi danau buatan tersebut.
Mereka terkejut melihat pemandangan yang luar biasa.
Di seberang danau, ada sebuah bangunan besar dengan anak bayi putih yang sangat besar sedang diayun.
Mereka juga melihat tumpukan paku, permukaan danau yang menyala, dan jamban-jamban raksasa.
Mereka bertanya kepada penunjuk jalan, dan penunjuk jalan menjelaskan bahwa Bayi yang dipukung adalah anak dari pangerak, Air danau yang menyala (banyu barau) adalah sumber air sehari-hari untuk minum, memasak, dan mandi.
Kemudian, jamban-jamban raksasa digunakan oleh penduduk desa untuk mandi, mencuci, dan buang air dan tumpukan paku adalah bahan makanan sehari-hari penduduk.
Komandan polisi Belanda dan pasukannya merasa takut dan terkejut.
BACA JUGA:Cerita Rakyat Bireuen: Legenda Paya Nie, Ketika Tanah Kering Berubah Menjadi Rawabendungan
Mereka menyadari bahwa mereka akan menyerang bukanlah manusia biasa, melainkan para raksasa.
Akhirnya, komandan memerintahkan pembatalan serangan dan pasukannya kembali.
Desa Parincahan kemudian berganti nama menjadi Banyu Barau, dan bayi putih yang tadi adalah pangerak diberi gelar Datu Putih.
Ketika Datu Putih wafat, ia dimakamkan di tempat di mana ayunan besar tadi digantung, dengan makam yang besar dan masih dijaga dengan cat warna putih hingga saat ini.
BACA JUGA:Misteri Kampung Pahajatan di Kalimantan Selatan: Tempat Bertawassul dan Permohonan Hajat
Makam ini dikenal sebagai Makam Datu Putih dan tetap menjadi tanda peringatan akan perlawanan hebat masyarakat Banyu Barau terhadap penjajah Belanda. (*)