Meski Nurnaningsih mengungkapkan bahwa tujuannya adalah untuk mengubah pandangan kolot masyarakat terhadap seni, tindakannya memicu boikot publik yang pada masa kini bisa disebut sebagai cancel culture.
BACA JUGA:Apakah Nomor Rekening DANA Sama dengan Nomor HP? Ini Penjelasannya
BACA JUGA:Lubang Ozon Makin Meluas, Ancaman Bagi Bumi Semakin Nyata?
Film-film yang dibintanginya dilarang tayang di beberapa daerah, seperti Kalimantan Timur, dan kariernya pun sempat terhenti setelah penampilannya dalam film Kebun Binatang (1955).
Kembalinya Nurnaningsih ke Dunia Film
Setelah 12 tahun menjauh dari dunia perfilman, Nurnaningsih kembali percaya diri untuk terjun lagi ke industri hiburan.
Pergantian kepemimpinan di Indonesia yang lebih terbuka terhadap pengaruh Barat tampaknya memberi ruang bagi kebebasan berekspresi.
BACA JUGA:S.K. Trimurti: Pahlawan Nasional Wanita yang Jarang Diketahui
BACA JUGA:Investasi Geothermal Indonesia Capai 8,7 Miliar Dolar AS dalam 10 Tahun Terakhir
Pada tahun 1968, ia kembali tampil dalam film Djakarta, Hongkong, Macao, menandai kebangkitannya sebagai aktris.
Sejak itu, Nurnaningsih membintangi lebih dari 10 film, termasuk beberapa judul populer seperti Nafsu Gila (1973), Bayang-Bayang Kelabu (1979), dan Malam Satu Suro (1988).
Meskipun sempat mengalami jatuh bangun dalam kariernya, Nurnaningsih tetap dikenang sebagai sosok yang berani melawan arus dan membuka jalan bagi kebebasan berekspresi di dunia seni Indonesia.
Warisan dan Pengaruh Nurnaningsih
BACA JUGA:Bawaslu Kabupaten Empat Lawang Putuskan Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilihan
BACA JUGA:Waspada! Ini 8 Ciri Rumah yang Sebaiknya Tidak Dibeli
Nurnaningsih lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 5 Desember 1925 ketika Indonesia masih dikenal sebagai Hindia Belanda.