BEDEGUL - Di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur dan makmur, dengan sawah dan ladang yang selalu memberikan panen berlimpah. Di desa tersebut, tinggal seorang petani bernama Pak Jurna bersama istrinya. Mereka selalu berharap panen padi mereka lebih baik dari sebelumnya.
Pada suatu hari, Pak Jurna menyarankan kepada istrinya untuk berkaul. "Jika hasil panen kita meningkat, kita akan membuat sebuah tumpeng nasi besar," ujar Pak Jurna penuh harap. Ibu Jurna menyetujui ide tersebut. Ternyata, hasil panen mereka benar-benar meningkat. Sesuai dengan kaul yang telah diucapkan, mereka membuat sebuah tumpeng nasi besar dan mengadakan pesta makan dan minum.
Namun, Pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen tersebut. Mereka kembali berkaul bahwa jika hasil panen berikutnya lebih meningkat, mereka akan membuat tiga tumpeng nasi besar. Benar saja, panen berikutnya lebih melimpah lagi. Mereka pun melaksanakan kaulnya dan sebagian sisa panen digunakan untuk membeli hewan ternak. Namun, rasa tidak puas tetap menghinggapi mereka. Pak Jurna dan istrinya berkaul lagi untuk membuat lima tumpeng besar jika hasil panen dan ternaknya lebih banyak. Panen berikutnya kembali melimpah ruah, dan ternaknya semakin banyak.
Di suatu pagi yang cerah, Pak Jurna pergi ke sawah dan melihat sesuatu yang aneh, yaitu onggokan tanah sebesar catu (alat penakar beras dari tempurung kelapa). Setelah mengamati onggokan tanah tersebut, ia pulang dan bercerita kepada istrinya. Ibu Jurna mengusulkan agar mereka membuat beberapa catu nasi seperti yang dilihat Pak Jurna di sawah, dengan harapan panen mereka akan berlimpah ruah.
BACA JUGA:Legenda Bersatunya Pulau Andalas
BACA JUGA:Kisah Kerajaan Termasyhur di Kalimantan Selatan Terusik Burung Raksasa
Benar saja, hasil panen mereka semakin melimpah, dan lumbung padi penuh. Para tetangga takjub melihat hasil panen yang luar biasa tersebut. Mereka mulai mengadakan pesta pora dan membuat beberapa catu nasi untuk ditempatkan di tempat onggokan tanah tersebut. Namun, catu tanah semakin membesar. Pak Jurna pun terus membuat catu nasi yang lebih besar, tetapi catu tanah juga terus bertambah besar dan tinggi hingga menjadi sebuah bukit.
Akhirnya, Pak Jurna dan istrinya menyerah. Mereka tidak sanggup lagi membuat catu nasi yang lebih besar. Kesombongan dan ketamakan mereka membawa mereka jatuh miskin. Onggokan tanah tersebut kemudian dikenal sebagai Bukit Catu, sebuah peringatan akan bahaya kesombongan dan ketamakan. ***