RAKYATEMPATLAWANG.DISWAY.ID - "Lebbi begus pote tollang e tembeng pote matah" menjadi semboyan yang memikat, mencerminkan esensi kehormatan yang mengalahkan ketakutan akan kematian.
Namun, peristiwa terkini di Bangkalan, Madura, di mana Carok merenggut empat nyawa, telah mencoreng semboyan tersebut.
Menghadapi kritik di media sosial, penting untuk kembali menelusuri akar mulia Carok dan mempertimbangkan revitalisasinya.
Asal Mula Carok
Kisah Sakera, seorang pejuang Madura yang melawan penindasan pada era kolonial Belanda, menekankan signifikansi historis Carok.
Sakera, atau Sakerah, bertarung melawan ketidakadilan, membela sesama Madura dari eksploitasi di perkebunan tebu.
Senjatanya, celurit melengkung atau monteng, menjadi sinonim dengan Carok—simbol perlawanan terhormat terhadap tirani.
BACA JUGA:Misteri Bangunan Tua di Jalan Pemuda, Semarang: Penungguan di Koridor-koridor Bersejarah
Makna Tanah
Bagi masyarakat Madura, tanah memiliki arti ekonomis dan religius.
Tanah mendukung kehidupan sekaligus menjadi pengingat asal-usul mereka.
Kesakralan tanah leluhur dijaga melalui praktik pemakaman, memperkuat keyakinan bahwa tanah adalah roh yang hidup dari nenek moyang mereka.
Menjual tanah dianggap sebagai tindakan tabu, melindungi kehormatan leluhur.
BACA JUGA:Mitos dan Realitas Carok: Apakah Hanya Sebatas Pengeroyokan?