Mereka menyadari bahwa mereka akan menyerang bukanlah manusia biasa, melainkan para raksasa.
Akhirnya, komandan memerintahkan pembatalan serangan dan pasukannya kembali.
Desa Parincahan kemudian berganti nama menjadi Banyu Barau, dan bayi putih yang tadi adalah pangerak diberi gelar Datu Putih.
Ketika Datu Putih wafat, ia dimakamkan di tempat di mana ayunan besar tadi digantung, dengan makam yang besar dan masih dijaga dengan cat warna putih hingga saat ini.
Makam ini dikenal sebagai Makam Datu Putih dan tetap menjadi tanda peringatan akan perlawanan hebat masyarakat Banyu Barau terhadap penjajah Belanda. (*)